Rabu, 23 Februari 2011

Harga Obat-obatan Bermerek Turun

Harga Obat-obatan Bermerek Turun

Jakarta, Kompas – Harga 100 macam obat generik bermerek (branded generic) segera turun harga. Penurunan harga diperkirakan 50-60 persen sehingga nantinya hanya tiga kali harga obat generik yang harganya ditetapkan pemerintah, yakni lewat Surat Keputusan Nomor 279/Menkes/SK/II/2005.

Seperti dikemukakan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Anthony Ch Sunarjo dalam jumpa pers, Kamis (18/5) sore, 100 macam obat tersebut diperkirakan mencakup sekitar 1.000 merek obat serta 34 bahan kimia atau active ingridient.

Secara internasional, pengertian obat generik adalah seluruh produk copy dari produk inovator yang telah habis masa patennya. Obat paten dilindungi hak patennya hingga 20 tahun dan dikuasai pabrik tertentu. “Dengan mempertimbangkan kendala teknis dan mekanisme pasar, penetapan harga direncanakan berlaku mulai 1 Juli 2006. Pelaksanaannya cukup kompleks sehingga membutuhkan waktu. Saat ini beredar sekitar 15.000 item obat dengan nilai mencapai Rp 15 triliun di pasar. Penurunan harga akan memengaruhi teknis administrasi, perubahan kemasan, sampai pembuatan daftar harga,” kata Anthony.

Penurunan harga tersebut untuk meluaskan akses masyarakat dalam mendapatkan obat-obat esensial yang dipakai sehari-hari. “Harapannya, nanti harga obat bermerek itu akan lebih terjangkau. Terlebih lagi sebagian dari obat-obatan yang akan turun harga itu termasuk obat esensial atau banyak dipakai sehari-hari oleh masyarakat,” ujar Anthony.

Penurunan harga itu telah diperhitungkan dari segi bisnis. Dengan penurunan harga tersebut, mereka mengharapkan obat- obatan itu lebih terjangkau di masyarakat sehingga volume penjualan dan produksi menjadi lebih besar.

Faktor lain dari tingginya harga obat adalah skala produksi yang kecil. Jika produksi makin besar, diharapkan terjadi efisiensi di pabrik sehingga ongkos dapat ditekan. Pertimbangan itu tentu harus dilihat agar industri tidak mati.

Agar upaya yang dilakukan para pengusaha farmasi itu dapat dinikmati masyarakat luas, mereka berharap pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan dapat menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai obat-obatan itu.

Kode etik

Persoalan lain terkait dengan harga obat ialah pelaksanaan code of conduct pemasaran atau kode etik usaha kefarmasian yang pelaksanaannya merupakan komitmen bersama antara GP Farmasi, Ikatan Dokter Indonesia, organisasi dokter seminat, dan persatuan rumah sakit.

Pelanggaran kode etik merupakan salah satu unsur utama terjadinya peresepan yang tidak rasional dan tingginya harga obat. Profesionalitas dan kode etik menjadi jawabannya.

“Soal harga obat, tidak sekadar daftar harga, melainkan juga penerapan peresepannya. Salah satu faktor yang memengaruhi harga obat ialah pelanggaran kode etik itu. Tidak hanya masalah harga obat per item, tetapi juga total biaya di resep. Terkadang satu resep sampai 5 item, padahal cukup 2 atau 3 item saja,” ujar Sekretaris Jenderal GP Farmasi Indonesia M Sjamsul Arifin. Dia mengakui memang terjadi banyak pelanggaran kode etik pemasaran dan tak mudah mengontrolnya.

Demikian juga dalam hal pemberian sponsor. “Kalau perlu kita arahkan satu pintu. Jika mau melaksanakan sponsor harus izin Menteri Kesehatan. Itu kalau memang tidak dapat mengandalkan kesadaran,” ujar Anthony.

Secara lisan para pengusaha farmasi sudah memberitahukan rencana penurunan harga tersebut kepada pemerintah.

Tidak ada komentar: